NEWSFED.ID, SURABAYA — Setiap tahun, negara menyusun APBN bernilai ribuan triliun rupiah. Namun, masih banyak rakyat yang tak merasakan manfaatnya secara langsung. Ketika rumah sakit di desa kekurangan dokter, dan sekolah dasar hanya berdinding papan, muncul pertanyaan: untuk siapa sesungguhnya anggaran negara ini disusun? APBN sejatinya adalah instrumen kebijakan fiskal utama Indonesia yang mengarahkan belanja negara untuk mendukung pembangunan.
Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan terhadap efisiensi anggaran meningkat, terlebih dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang menargetkan penghematan Rp306 triliun. Kebijakan ini muncul di tengah kondisi global yang tidak stabil, termasuk kenaikan suku bunga internasional dan gejolak harga komoditas, serta situasi dalam negeri seperti meningkatnya rasio utang terhadap PDB dan tuntutan defisit yang terkendali.
Di sisi lain, masih terdapat kesenjangan dalam alokasi belanja negara, terutama terhadap kelompok masyarakat rentan seperti petani, nelayan, dan pekerja informal. Belanja negara kerap lebih banyak terserap oleh belanja birokrasi daripada untuk pelayanan publik yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali prioritas alokasi anggaran agar lebih pro-rakyat dan mampu menjawab tantangan ketimpangan serta efisiensi fiskal yang makin mendesak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencerminkan kebijakan fiskal yang mencakup pendapatan dari pajak, utang, dan dividen BUMN, serta belanja untuk sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan subsidi energi (Rahmayanti et al., 2025). Target penghematan Rp306 triliun melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 mendorong pemerintah menekan pemborosan, seperti proyek mangkrak dan belanja pegawai yang tidak efektif.
Penyusunan APBN melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan DPR, namun masih diwarnai inefisiensi seperti duplikasi program antar-kementerian dan kasus korupsi pengadaan barang (Estherina & Gandhi, 2025). Laporan BPK tahun 2024 mencatat kerugian negara Rp20 triliun akibat penyalahgunaan anggaran, terutama pada proyek kecil yang minim pengawasan.
Evaluasi program yang lemah juga menyebabkan ketidaktepatan alokasi, terutama di wilayah 3T seperti Papua dan NTT yang masih kekurangan infrastruktur dasar. Kondisi ini menunjukkan pentingnya reformasi pengelolaan APBN untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas.
Belanja pro-rakyat, yang mencakup anggaran untuk pendidikan dasar, fasilitas kesehatan masyarakat seperti puskesmas di pedesaan, bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), dan pembangunan infrastruktur desa, memiliki dampak langsung pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) jika dikelola dengan efisien (Husein, 2024).
Sebagai contoh, Program Indonesia Pintar (PIP) telah membantu lebih dari 20 juta anak dari keluarga miskin untuk tetap bersekolah dengan menyediakan bantuan tunai, namun efektivitasnya terhambat oleh distribusi dana yang lambat akibat verifikasi manual yang rentan terhadap kesalahan dan korupsi di tingkat lokal, seperti ditemukan dalam audit BPK pada 2024 di beberapa kabupaten (Putra, 2025).
Dengan menerapkan efisiensi, seperti penggunaan sistem digital berbasis data kependudukan terintegrasi, distribusi dapat dipercepat dan kebocoran dana dapat diminimalkan hingga di bawah 5%, sebagaimana target yang pernah diusulkan oleh Kementerian Keuangan. Contoh lain adalah subsidi energi, yang pada 2024 menyedot sekitar 10% APBN atau Rp400 triliun, namun sering kali dinikmati oleh kelompok kaya karena kurangnya targeting yang tepat, seperti penggunaan bahan bakar bersubsidi oleh kendaraan mewah.
Penghematan yang salah arah, seperti pemotongan subsidi tanpa kompensasi memadai pada 2022, memicu kenaikan biaya hidup dan protes sosial di berbagai kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih terarah. Perbandingan dengan Vietnam menawarkan wawasan berharga: negara ini berhasil mengurangi jumlah provinsi dari 63 menjadi 50 dan memangkas 30% birokrasi tingkat menengah dalam lima tahun terakhir, sehingga menghemat hingga 15% anggaran tahunan atau sekitar $3 miliar, tanpa mengorbankan layanan publik seperti pendidikan gratis dan jaminan kesehatan universal.
Di Indonesia, langkah serupa dapat diterapkan dengan mengurangi jumlah staf khusus—yang saat ini mencapai lebih dari 300 orang dengan gaji dan tunjangan yang signifikan—dan mengalihkan dana tersebut ke program pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan keterampilan untuk pemuda di daerah 3T atau subsidi pertanian organik yang ramah lingkungan. Efisiensi yang cerdas memastikan alokasi pro-rakyat tidak hanya besar nominalnya, tetapi juga terukur dampaknya terhadap kualitas hidup, indeks kemiskinan, dan ketahanan ekonomi lokal.
Upaya mengalokasikan belanja negara secara pro-rakyat menghadapi berbagai hambatan, seperti inefisiensi birokrasi dengan 4,5 juta PNS yang sebagian memiliki produktivitas rendah, serta risiko pemotongan program penting seperti subsidi energi dan infrastruktur desa. Kasus korupsi dana desa yang merugikan Rp5 triliun pada 2024 menyoroti lemahnya pengawasan, terutama di daerah terpencil. Reformasi juga terhambat oleh resistensi birokrasi terhadap pengurangan jabatan atau restrukturisasi instansi.
Solusi yang dapat diterapkan mencakup digitalisasi anggaran dengan teknologi AI untuk mendeteksi penyimpangan, penguatan BPK dan KPK dengan sistem pemantauan real-time, dan efisiensi struktur birokrasi melalui evaluasi berbasis hasil. Partisipasi masyarakat melalui forum terbuka juga penting agar anggaran sesuai kebutuhan lokal. Kebijakan efisiensi ini harus menyeluruh, melibatkan teknologi, pengawasan independen, dan keterlibatan publik demi memastikan alokasi yang adil dan berkelanjutan, terutama dalam masa pemulihan ekonomi dan transisi menuju pembangunan hijau.
Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan rakyat kecil sebagai pos penghematan utama dalam APBN. Target penghematan Rp306 triliun tidak boleh berujung pada pemotongan sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa—yang justru menjadi urat nadi kehidupan masyarakat bawah. Kita harus berani menggeser prioritas: dari birokrasi ke pelayanan publik, dari belanja elitis ke kebutuhan mendasar rakyat. Tidak cukup hanya berbicara efisiensi—yang kita butuhkan adalah keberpihakan.
Jika APBN terus dikelola dengan logika angka semata tanpa menyentuh realitas rakyat di lapangan, maka ia gagal menjalankan misinya sebagai alat keadilan sosial. Pemerintah mesti memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan—bukan berhenti di meja rapat, birokrasi, atau proyek seremonial. APBN bukan milik pejabat, tapi milik rakyat. Dan rakyat berhak menuntut agar setiap alokasinya berpihak kepada mereka, bukan kepada mereka yang sudah terlalu lama diistimewakan.
Daftar Pustaka
Estherina, I., & Gandhi, G. (2025). Kementerian keuangan bakal rekonstruksi efisiensi Anggaran, target Penghematan rp 306,6 Triliun Berubah? Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/kementerian-keuangan-bakal-rekonstruksi-efisiensi-anggaran-target-penghematan-rp-306-6-triliun-berubah–1205314
Hafizd, J. Z., Janwari, Y., & Al-Hakim, S. (2024). Kebijakan Fiskal di Indonesia: Analisis Hukum Keadilan Ekonomi dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. IQTISHOD: Jurnal Pemikiran Dan Hukum Ekonomi Syariah, 3(2), 146–167. https://doi.org/10.69768/ji.v3i2.58
Husein, M. R. Z. (2024, July 8). Model kepemimpinan nasional joko widodo perspektif ibnu khaldun. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/79720
Putra, D. (2025, March 3). Program Indonesia Pintar Menghindarkan Pelajar dari Putus Sekolah. Media Keuangan. https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/satu-dekade-program-indonesia-pintar-pip-tekan-angka-putus-sekolah
Rahmayanti, V., Syahraeni, S., Nurham, Muh., Kamiruddin, K., & Arifin Sahaka. (2025). Menyelami APBN Indonesia: Potret Anggaran dan Analisis Perkembangan dari Periode ke Periode. IKRAITH-EKONOMIKA, 8(1), 328–337.
Penulis: Alfi Azzahra Fatimah (172241052), Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik