NEWSFEED.ID, SEMARANG — Sebuah temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC), Fokus Kesehatan Indonesia (FKI), dan Yayasan BUMN menunjukkan bahwa 70% pelajar SMA di Jakarta tidak tertarik untuk mengunjungi ruang Bimbingan Konseling (BK) di sekolah mereka untuk membahas masalah kesehatan mental. Menurut Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, Peneliti Utama HCC, “Bahkan hampir 7 dari 10 (67 persen) pelajar SMA terbukti tidak ingin mengunjungi ruang BK, terlebih untuk melakukan konseling.” Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara kebutuhan siswa akan layanan konseling dan kenyataan aksesibilitas layanan tersebut.
Sementara dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat terutama kaum muda semakin menyadari pentingnya kesehatan mental ataupun well-being. Di tingkat global, perhatian terhadap isu kesehatan mental makin mengemuka setelah pandemi Covid-19. Bahkan hasil survey yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.Penelitian Understanding Gen Z’s Mental Health Challenges dalam Phenomenon: Multidisciplinary Journal of Sciences and Research mencatat bahwa digital overload dan tekanan akademik menjadi tantangan utama kesehatan mental Gen Z, menghasilkan kelelahan kognitif dan emosional (Matilda et al., 2025)
Stigma Musuh Terbesar Layanan BK
Salah satu faktor utama yang menyebabkan keengganan siswa mengakses layanan BK adalah stigma negatif yang melekat pada ruang konseling. Banyak siswa yang masih memandang bahwa datang ke ruang BK identik dengan “bermasalah” atau “nakal”. Penelitian Amalia (2020) menunjukkan bahwa persepsi negatif siswa terhadap layanan BK masih menjadi tantangan yang perlu diatasi melalui berbagai strategi pendekatan yang tepat.
Stigma ini diperkuat oleh praktik-praktik yang tidak tepat, seperti penggunaan ruang BK sebagai tempat untuk memberikan sanksi atau hukuman kepada siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Akibatnya, siswa mengasosiasikan ruang BK dengan hal-hal negatif dan menghindarinya sebisa mungkin. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar bimbingan konseling komprehensif yang seharusnya bersifat preventif dan developmental, bukan hanya kuratif (Gysbers & Henderson, 2012).
Banyak remaja merasa canggung atau takut dicap “kelewat sensitif” jika mengunjungi BK, walaupun mereka sebenarnya merindukan ruang untuk berbicara secara terbuka. Generasi Z, sebagai “digital natives”, cenderung lebih terbuka membahas kesehatan mental lewat media sosial mereka sering membagikan pengalaman kecemasan atau depresi di platform seperti Instagram dan TikTok namun enggan menempuh jalur formal konseling di sekolah karena dianggap kurang “kekinian” atau “tidak privat”.
Kurangnya Pemahaman tentang Fungsi BK
Rendahnya minat siswa untuk mengakses layanan BK juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang fungsi sebenarnya dari layanan tersebut. Banyak siswa yang tidak menyadari
bahwa BK tidak hanya untuk menangani masalah perilaku, tetapi juga untuk membantu pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir (Permendikbud No. 111 Tahun 2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa lebih memilih teman sebaya sebagai tempat berkonsultasi dibandingkan dengan guru BK di sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa merasa lebih nyaman berbagi dengan orang yang dianggap setara dan tidak memiliki posisi otoritas. Temuan ini didukung oleh teori perkembangan remaja Santrock (2007) yang menjelaskan bahwa pada masa remaja, pengaruh teman sebaya menjadi sangat kuat dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan identitas, sehingga remaja cenderung lebih nyaman berbagi dengan kelompok sebaya dibandingkan dengan figur otoritas.
Solusi Menuju Transformasi Layanan BK
Rebranding dan Destigmatisasi
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan rebranding pada ruang BK agar tidak menimbulkan stigma negatif bagi siswa. Hal ini sejalan dengan rekomendasi dari penelitian HCC, FKI, dan Yayasan BUMN yang menyarankan perlu adanya perubahan perspektif terhadap layanan BK. Ruang BK dapat diubah namanya menjadi “Ruang Konsultasi Siswa” atau “Pusat Pengembangan Diri” yang lebih positif dan tidak menakutkan.
Implementasi Program Zona Mendengar Jiwa
Konsep “Zona Mendengar Jiwa” yang direkomendasikan dalam penelitian tersebut dapat menjadi solusi inovatif. Program ini mencakup skrining kesehatan mental, identifikasi masalah, konseling berbasis sekolah, konseling sebaya, dan integrasi layanan kesehatan dengan sekolah. Pendekatan ini lebih holistik dan melibatkan berbagai pihak dalam mendukung kesehatan mental siswa.
Pengembangan Konseling Sebaya Terstuktur
Mengingat siswa lebih nyaman berbagi dengan teman sebaya, Pendekatan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak menggantikan peran profesional konselor. Program peer counseling yang terstruktur dapat membantu siswa sebagai first aid dalam menangani masalah kesehatan mental, namun tetap dengan supervisi dari konselor profesional, sejalan dengan hal tersebut bahwa Program konseling sebaya yang efektif memerlukan pelatihan dan supervisi yang berkelanjutan (Risnawaty et al., 2019).
Kolaborasi Stake Holder
Keberhasilan transformasi layanan BK memerlukan kolaborasi yang kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Guru BK perlu meningkatkan kompetensi mereka dalam menangani masalah kesehatan mental remaja, sementara orang tua perlu dilibatkan dalam proses konseling untuk memastikan kontinuitas dukungan di rumah.
Kesimpulan
Fenomena keengganan siswa SMA untuk mengakses layanan BK merupakan cerminan dari permasalahan sistemik dalam penyelenggaraan layanan konseling di sekolah. Stigma negatif, kurangnya pemahaman tentang fungsi BK, dan pendekatan yang masih bersifat reaktif menjadi faktor-faktor utama yang perlu dibenahi.
Transformasi layanan BK memerlukan perubahan paradigma dari punitive menjadi preventif dan developmental. Implementasi program seperti Zona Mendengar Jiwa, pengembangan konseling sebaya yang terstruktur, dan kolaborasi multi-pihak dapat menjadi solusi untuk meningkatkan aksesibilitas dan efektivitas layanan konseling di sekolah.
Sebagai calon konselor profesional, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap siswa dapat mengakses layanan konseling yang berkualitas tanpa rasa takut atau malu. Upaya ini tidak hanya penting untuk kesehatan mental siswa saat ini, tetapi juga untuk mempersiapkan generasi yang tangguh secara mental dalam menghadapi tantangan masa depan, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
Daftar Pustaka
- Matilda, N., Wulandari, P., & Darmanto, B. (2025). Understanding Gen Z’s mental health challenges in digital overload and academic pressure. Phenomenon: Multidisciplinary Journal of Sciences and Research, 5(1), 14–26. https://azramedia-indonesia.azramediaindonesia.com/index.php/phenomenon/article/view/1402
- Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2012). Developing and managing your school guidance and counseling program (5th ed.). American Counseling Association.
- Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
- Santrock, J. W. (2007). Adolescence (12th ed.). McGraw-Hill.
- Risnawaty, R., Sutjiati, H., & Wulandari, M. (2019). Peer counseling program development in high schools of West Jakarta. Mitra: Jurnal Kerjasama Bidang Pengabdian kepada Masyarakat, 3(2), 45–55. https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/mitra/article/view/350
- World Health Organization. (2020). Adolescent mental health. https://www.who.int/news- room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health
Disusun oleh: Sevilla Permatawati, Rossi Galih Kesuma, M.Pd., Prodi Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang