NEWSFEED.ID — Di tengah berbagai ancaman kesehatan global, HIV & AIDS masih menjadi salah satu penyakit mematikan yang merenggut jutaan nyawa setiap tahunnya. Sejak pertama kali ditemukan pada 1980-an, virus HIV telah menginfeksi lebih dari 39 juta orang di seluruh dunia (data UNAIDS 2023). Penyakit ini menyerang sistem kekebalan tubuh, membuat penderitanya rentan terhadap infeksi berbahaya dan komplikasi fatal. Meskipun pengobatan telah berkembang pesat, kurangnya kesadaran, stigma sosial, dan misinformasi membuat HIV & AIDS tetap menjadi momok yang menakutkan. Tanpa deteksi dini dan penanganan tepat, virus ini bisa berkembang menjadi AIDS, fase paling kritis yang mengancam jiwa.
Namun, kabar baiknya: kita bisa mengubah keadaan! Dengan edukasi yang benar, pencegahan efektif, dan dukungan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), impian untuk menciptakan Generasi Bebas HIV & AIDS bukanlah hal mustahil. Negara-negara seperti Thailand dan Botswana telah membuktikan bahwa penurunan signifikan dalam kasus baru HIV bisa dicapai melalui kampanye tes rutin, terapi ARV, dan kesadaran masyarakat. Kuncinya ada di tangan kita, mulai dari mengenali gejala, memahami cara penularan, hingga menerapkan langkah pencegahan. Yuk, gali fakta-faktanya lebih dalam dan jadi bagian dari solusi! Bersama, kita bisa hentikan penyebaran HIV & AIDS demi masa depan yang lebih sehat.
Apa itu HIV & AIDS?
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel CD4 (sel T helper) yang berperan penting dalam melawan infeksi. Virus ini termasuk dalam keluarga retrovirus dan bekerja dengan cara mengambil alih sel imun, menggandakan diri, lalu merusak sel-sel tersebut secara bertahap. Tanpa pengobatan, HIV dapat berkembang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh hingga tubuh tidak mampu melawan penyakit-penyakit ringan sekalipun. HIV tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, namun dengan terapi Antiretroviral (ARV), virus ini dapat dikendalikan hingga kadar yang tidak terdeteksi (undetectable), sehingga penderitanya bisa hidup sehat dan tidak menularkan ke orang lain. Penularan HIV terjadi melalui cairan tubuh tertentu seperti darah, air mani, cairan vagina, dan ASI, terutama melalui hubungan seks tanpa pengaman, penggunaan jarum suntik bersama, atau dari ibu ke bayi selama kehamilan dan persalinan.
Sedangkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh sudah sangat rusak, ditandai dengan jumlah sel CD4 di bawah 200 sel/mm³ atau munculnya infeksi oportunistik seperti TBC, pneumonia, atau kanker tertentu (misalnya sarkoma Kaposi). Berbeda dengan HIV yang merupakan virus, AIDS adalah sindrom kumpulan gejala dan penyakit yang muncul akibat kerusakan parah pada sistem imun. Tidak semua orang dengan HIV akan berkembang menjadi AIDS jika mereka mendapatkan pengobatan ARV secara konsisten. Namun, jika tidak diobati, rata-rata waktu perkembangan HIV ke AIDS adalah 8-10 tahun. Pada fase ini, risiko kematian meningkat signifikan karena tubuh tidak lagi mampu melawan infeksi. Penting untuk diingat bahwa AIDS bisa dicegah dengan deteksi dini HIV dan terapi ARV yang tepat, sehingga akses terhadap tes dan pengobatan menjadi kunci utama dalam memutus rantai perkembangan penyakit ini.
Perbedaan HIV dan AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) sering dianggap sama, padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4, sehingga secara bertahap melemahkan kemampuan tubuh dalam melawan infeksi. Seseorang bisa terinfeksi HIV selama bertahun-tahun tanpa menunjukkan gejala serius selama virus tersebut belum merusak sistem imun secara signifikan. Di sisi lain, AIDS adalah kondisi klinis yang muncul ketika infeksi HIV sudah mencapai tahap paling parah, ditandai dengan jumlah sel CD4 di bawah 200 sel/mm³ atau munculnya infeksi oportunistik seperti tuberkulosis (TBC) atau kanker tertentu. Dengan kata lain, HIV adalah penyebab, sedangkan AIDS adalah akibat akhir dari infeksi HIV yang tidak diobati. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua orang yang hidup dengan HIV akan berkembang menjadi AIDS jika mereka menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) secara disiplin, karena terapi ini dapat menekan perkembangan virus dan menjaga kualitas hidup penderitanya.
Berdasarkan Laporan Penilaian Risiko Cepat Kementerian Kesehatan 2024, disebutkan bahwa estimasi Orang dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) hidup 2024 di Indonesia yaitu sebanyak 503.261 orang. Angka ini menunjukkan bahwa HIV masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia, membutuhkan perhatian dan penanganan lebih intensif dari semua pihak. Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus HIV ditemukan pada kelompok usia produktif (15–49 tahun), dengan faktor risiko utama meliputi hubungan seks tidak aman dan penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna narkoba. Meskipun angka estimasi ini terlihat tinggi, upaya pencegahan dan pengendalian HIV terus dilakukan melalui berbagai program, seperti perluasan akses tes HIV, peningkatan ketersediaan obat ARV, dan kampanye edukasi untuk mengurangi stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan jumlah kasus baru dapat ditekan dan lebih banyak ODHA bisa hidup sehat serta produktif.
Bagaimana Gejala HIV & AIDS?
Pada tahap awal infeksi HIV atau yang dikenal sebagai fase infeksi akut, tubuh mulai menunjukkan reaksi terhadap masuknya virus. Gejala yang muncul biasanya menyerupai flu biasa, seperti demam tinggi, sakit tenggorokan, dan pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau pangkal paha. Beberapa orang juga mengalami ruam merah di kulit, nyeri otot dan sendi, serta kelelahan ekstrem yang tidak kunjung membaik. Gejala-gejala ini umumnya muncul 2–4 minggu setelah terpapar virus dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Meski terlihat ringan, fase ini justru sangat penting karena jumlah virus dalam darah (viral load) sangat tinggi, sehingga risiko penularan ke orang lain lebih besar. Sayangnya, banyak orang mengabaikan gejala awal ini karena mirip dengan penyakit umum lainnya, padahal deteksi dini dapat membantu memulai pengobatan lebih cepat dan memperlambat perkembangan virus.

idspecialists.sg)
Setelah fase akut berlalu, HIV memasuki periode latensi klinis, di mana virus tetap aktif tetapi berkembang biak dengan sangat lambat. Pada fase ini, yang bisa berlangsung 5–10 tahun atau bahkan lebih lama, penderita seringkali tidak merasakan gejala apa pun sehingga banyak yang tidak menyadari dirinya terinfeksi. Namun, meski tampak sehat, virus terus merusak sistem kekebalan tubuh secara diam-diam dengan mengurangi jumlah sel CD4. Tanpa pengobatan antiretroviral (ARV), perlahan tapi pasti, sistem imun akan semakin melemah. Fase inilah yang membuat HIV sangat berbahaya—banyak orang baru mengetahui status HIV-nya setelah penyakitnya berkembang parah atau ketika melakukan tes darah secara tidak sengaja. Oleh karena itu, tes HIV rutin sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi, seperti pengguna narkoba suntik atau yang sering berganti pasangan seksual.
Jika infeksi HIV tidak diobati, virus akan terus merusak sistem kekebalan tubuh hingga mencapai tahap terparah, yaitu AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Seseorang didiagnosis AIDS ketika jumlah sel CD4-nya di bawah 200 sel/mm³ (orang sehat memiliki 500–1.600 sel/mm³) atau ketika mulai muncul infeksi oportunistik, yaitu penyakit yang biasanya tidak berbahaya bagi orang dengan sistem imun normal tetapi bisa mematikan bagi penderita AIDS. Contoh infeksi oportunistik yang sering terjadi antara lain tuberkulosis (TBC), pneumonia Pneumocystis (PCP), sarkoma Kaposi (kanker kulit), dan meningitis kriptokokus. Pada tahap ini, tubuh sama sekali tidak mampu melawan infeksi, sehingga penyakit-penyakit kecil sekalipun bisa berakibat fatal. Tanpa pengobatan, rata-rata penderita AIDS hanya bertahan hidup sekitar 3 tahun setelah diagnosis.
Meski terdengar mengerikan, perkembangan HIV ke AIDS bisa dicegah dengan pengobatan antiretroviral (ARV) yang konsisten. Obat ARV bekerja dengan menekan replikasi virus, sehingga jumlah virus dalam darah (viral load) bisa turun hingga tidak terdeteksi. Dengan viral load yang tidak terdeteksi, sistem kekebalan tubuh dapat pulih secara bertahap, dan penderita HIV bisa hidup sehat seperti orang biasa tanpa risiko menularkan virus ke pasangannya (konsep U=U: Undetectable = Untransmittable). Kunci utamanya adalah deteksi dini melalui tes HIV dan memulai pengobatan sesegera mungkin sebelum sistem imun rusak parah. Sayangnya, stigma dan kurangnya kesadaran masih menjadi penghalang besar bagi banyak orang untuk melakukan tes HIV. Padahal, semakin cepat HIV terdeteksi, semakin besar peluang untuk hidup panjang dan berkualitas. Edukasi yang masif dan dukungan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat diperlukan untuk memutus rantai penularan dan mencapai generasi bebas AIDS.
Melakukan tes HIV sedini mungkin merupakan langkah krusial dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, karena dengan mengetahui status HIV sejak awal, seseorang bisa segera mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) yang dapat menekan perkembangan virus, menjaga sistem kekebalan tubuh tetap stabil, dan mencegah penularan ke orang lain. Deteksi dini juga memungkinkan penderita untuk mengakses perawatan medis yang tepat sebelum virus menyebabkan kerusakan parah pada sistem imun, sehingga kualitas hidupnya tetap terjaga dan risiko berkembangnya AIDS dapat diminimalisir. Selain itu, kesadaran untuk melakukan tes HIV secara rutincterutama bagi kelompok berisiko tinggi seperti pasangan yang aktif secara seksual, pekerja seks, dan pengguna narkoba suntikcdapat membantu memutus rantai penularan dan mengurangi stigma sosial terkait HIV/AIDS. Dengan semakin banyak orang yang mengetahui status HIV-nya sejak dini, upaya menciptakan generasi bebas HIV bukanlah hal yang mustahil, karena pengobatan dini tidak hanya menyelamatkan nyawa individu, tetapi juga melindungi masyarakat secara keseluruhan dari penyebaran virus yang lebih luas.
Mitos dan Fakta Penularan HIV & AIDS
HIV memiliki tiga rute penularan utama yang perlu dipahami secara jelas. Pertama, hubungan seks tanpa pengaman (vaginal, anal, atau oral) dengan pasangan yang positif HIV merupakan cara penularan paling umum, dimana virus dapat masuk melalui membran mukosa atau luka kecil di area genital. Kedua, penggunaan jarum suntik bergantian di kalangan pengguna narkoba suntik atau prosedur medis yang tidak steril sangat berisiko karena darah yang terkontaminasi dapat langsung masuk ke aliran darah. Ketiga, penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi selama tiga fase: saat hamil melalui plasenta, selama persalinan melalui kontak dengan darah dan cairan vagina, serta melalui ASI saat menyusui. Penting dicatat bahwa dengan intervensi medis yang tepat seperti terapi ARV pada ibu hamil, persalinan caesar terencana, dan pemberian susu formula pengganti ASI, risiko penularan dari ibu ke anak dapat diturunkan hingga di bawah 1%.
Banyak mitos tidak berdasar yang justru menimbulkan stigma berlebihan terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). HIV tidak dapat menular melalui pelukan, jabat tangan, atau kontak kulit biasa karena virus tidak bisa bertahan di permukaan kulit yang utuh. Gigitan nyamuk juga bukan media penularan karena virus HIV tidak dapat berkembang biak dalam tubuh nyamuk dan mekanisme penghisapan darah nyamuk bekerja satu arah. Berenang bersama atau menggunakan kolam renang yang sama dengan ODHA pun tidak berisiko karena HIV akan mati seketika ketika terkena air dan bahan kimia pembersih kolam. Pemahaman yang keliru ini seringkali menyebabkan diskriminasi yang tidak perlu terhadap ODHA, padahal penularan hanya terjadi melalui pertukaran cairan tubuh tertentu seperti darah, air mani, cairan vagina, dan ASI dalam kondisi khusus. Edukasi yang tepat akan membantu masyarakat berinteraksi secara normal dengan ODHA tanpa ketakutan yang berlebihan.
Strategi Komprehensif untuk Menghindari Infeksi dengan ABCDE
Pendekatan ABCDE merupakan metode pencegahan HIV yang efektif dan mudah diingat. Abstinence (menunda hubungan seks) menjadi pilihan paling aman, terutama bagi remaja dan mereka yang belum menikah, karena menghilangkan risiko penularan secara keseluruhan. Be faithful (setia pada satu pasangan) yang juga telah tes HIV dan terbukti negatif dapat meminimalisir risiko secara signifikan, asalkan kedua pihak benar-benar monogami. Condom (penggunaan kondom secara benar dan konsisten) saat berhubungan seks, baik vaginal, anal, maupun oral, terbukti mengurangi risiko penularan hingga 90% jika digunakan dengan tepat. Don’t share needles (tidak berbagi jarum suntik) sangat krusial bagi pengguna narkoba suntik atau mereka yang membutuhkan injeksi rutin, karena berbagi jarum merupakan jalur penularan langsung melalui darah. Terakhir, Education (edukasi) tentang HIV/AIDS kepada diri sendiri dan orang lain membantu memutus rantai misinformasi dan stigma, sekaligus meningkatkan kewaspadaan kolektif terhadap penularan virus ini.
Selain metode ABCDE, tersedia juga intervensi medis berupa PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis) dan PEP (Post-Exposure Prophylaxis) untuk perlindungan tambahan. PrEP adalah obat yang dikonsumsi secara rutin oleh orang dengan risiko tinggi tertular HIV, seperti pasangan dari ODHA, pekerja seks, atau pengguna narkoba suntik. Obat ini, bila diminum sesuai anjuran, dapat menurunkan risiko penularan melalui seks hingga 99% dan melalui jarum suntik hingga 74%. Sementara itu, PEP adalah obat darurat yang harus diminum maksimal 72 jam setelah terpapar HIV, misalnya akibat hubungan seks tanpa pengaman dengan pasangan yang status HIV-nya tidak diketahui atau kecelakaan tertusuk jarum di fasilitas kesehatan. PEP harus dikonsumsi selama 28 hari untuk mencegah infeksi virus menyebar dalam tubuh. Kedua obat ini tidak menggantikan kondom atau metode pencegahan lain, melainkan berfungsi sebagai lapisan pertahanan tambahan.
Meski efektif, akses PrEP dan PEP di Indonesia masih terbatas dan belum merata. PrEP umumnya tersedia di klinik-klinik khusus HIV atau rumah sakit rujukan di kota besar, dengan biaya yang belum ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan. PEP lebih mudah ditemui di rumah sakit atau klinik pasca paparan, seperti bagi tenaga kesehatan yang mengalami kecelakaan kerja. Tantangan utama lainnya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan obat-obatan pencegahan ini, serta stigma yang membuat kelompok berisiko enggan mencari informasi atau mengaku membutuhkannya. Edukasi yang masif dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan PrEP dan PEP, sekaligus mendorong ketersediaannya yang lebih luas dan terjangkau. Dengan kombinasi metode ABCDE, PrEP, PEP, serta dukungan kebijakan yang memadai, upaya pencegahan HIV di Indonesia dapat menjadi lebih komprehensif dan efektif.
Dukungan psikologis dari keluarga, teman, dan komunitas memainkan peran sangat penting dalam membantu Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menjalani hidup yang berkualitas. Keluarga sebagai lingkaran terdekat dapat memberikan dukungan emosional dengan menerima kondisi ODHA tanpa stigma, mendampingi proses pengobatan, serta menciptakan lingkungan rumah yang nyaman dan bebas dari diskriminasi. Teman-teman dekat juga dapat berperan dengan tetap memperlakukan ODHA secara normal, mendengarkan keluh kesah mereka, dan mengajak beraktivitas seperti biasa agar tidak merasa terisolasi. Sementara itu, komunitas—baik kelompok dukungan sesama ODHA, organisasi kesehatan, maupun lingkungan sosial dapat memberikan dukungan praktis seperti informasi tentang pengobatan, bantuan hukum terkait hak ODHA, atau sekadar ruang aman untuk berbagi pengalaman. Dukungan sosial yang kuat terbukti mampu meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV dan mengurangi risiko depresi pada ODHA, yang pada akhirnya membantu mereka hidup lebih panjang dan produktif. Dengan kata lain, dukungan psikologis bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang membangun sistem yang memungkinkan ODHA bertahan dan berkembang.
ODHA bukanlah “akhir cerita”, dengan pengobatan ARV yang tepat, dukungan psikologis, dan penerimaan sosial, mereka dapat memiliki harapan hidup yang hampir setara dengan orang tanpa HIV. Tantangan terbesar saat ini bukan hanya virusnya, tetapi juga stigma, ketakutan, dan misinformasi yang masih melekat di masyarakat. Oleh karena itu, setiap orang dapat berkontribusi, baik dengan mengedukasi diri sendiri dan orang lain, mendorong tes HIV rutin, atau sekadar bersikap inklusif terhadap ODHA. Perubahan dimulai dari kesadaran kolektif bahwa HIV adalah tanggung jawab bersama—bukan aib individu. Dengan kerja sama semua pihak, dari level personal hingga kebijakan publik, target “Generasi Bebas HIV” bukanlah impian semata, melainkan tujuan yang bisa dicapai. Yuk, jadi bagian dari solusi!
Penulis: Annisa Nur Nabila Budi