NEWSFEED.ID, Malang — Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang dikelilingi lautan. Lebih dari dua pertiga wilayahnya berupa perairan dengan luas mencapai 3,25 juta kilometer persegi dan garis pantai membentang sejauh 81.000 kilometer. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi kelautan terbesar di dunia. Laut bukan sekadar sumber pangan dan jalur perdagangan, tetapi juga penyimpan energi yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Energi tersebut tersembunyi pada perbedaan kadar garam antara air laut dan air tawar. Saat dua jenis air ini bertemu di muara, ion-ion di dalamnya bergerak saling menyeimbangkan konsentrasi garam. Pergerakan ion tersebut dapat diubah menjadi listrik melalui sistem membran penukar ion. Prinsip ilmiah yang sederhana ini menjadi dasar dari teknologi Reverse Electrodialysis (RED), inovasi yang mampu menghasilkan energi bersih dari laut tanpa emisi karbon. Teknologi RED bekerja melalui susunan berlapis membran penukar kation (CEM) dan membran penukar anion (AEM). Aliran air laut dan air tawar melewati tiap lapisan, menciptakan gerakan ion yang teratur dan menghasilkan beda potensial listrik. Dari sinilah lahir energi yang bersih dan berkelanjutan.

Kementerian ESDM melalui Badan Geologi mencatat potensi energi laut Indonesia mencapai 63 gigawatt. Angka yang setara dengan puluhan pembangkit listrik tenaga uap skala besar. Potensi itu mencakup energi arus laut, gelombang, panas laut, dan gradien salinitas. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk beralih menuju sumber energi baru terbarukan berbasis laut. Bayangkan jika potensi ini dikembangkan secara nyata, ribuan muara sungai yang mengalir ke laut dapat menjadi lokasi pembangkit listrik. Daerah pesisir yang selama ini bergantung pada genset diesel bisa mendapatkan pasokan listrik yang stabil dan ramah lingkungan. Energi yang lahir dari laut bisa menjadi terang bagi masyarakat di pulau-pulau kecil yang selama ini masih hidup dalam gelap.
Upaya pengembangan teknologi RED memang belum masif. Penelitian di Indonesia masih berfokus di tingkat universitas dan lembaga riset. Tantangan utamanya terletak pada pengembangan membran penukar ion yang efisien sekaligus terjangkau. Banyak peneliti masih mengandalkan material impor dengan harga tinggi. Padahal, potensi inovasi lokal sangat besar. Bahan baku pembuatan membrane yang mencakup polimer terbarukan, campuran silika, hingga pelarut dapat menjadi alternatif yang ramah lingkungan dan ekonomis. Inovasi ini membuka peluang besar bagi mahasiswa dan peneliti muda di bidang bioproses, kimia, dan lingkungan. Kolaborasi lintas disiplin dapat melahirkan rancangan sistem RED skala laboratorium hingga prototipe sederhana yang siap diterapkan di wilayah pesisir.
Energi gradien salinitas sejalan dengan semangat global menuju pembangunan berkelanjutan. Teknologi ini mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-7 tentang energi bersih dan terjangkau, serta poin ke-13 tentang aksi iklim. Setiap kilowatt listrik yang dihasilkan dari laut berarti satu langkah lebih dekat menuju masa depan rendah emisi karbon. Pemerintah telah menargetkan porsi energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Energi laut menjadi bagian dari target tersebut, meski kontribusinya masih jauh lebih kecil dibandingkan tenaga surya dan air. Kondisi ini seharusnya menjadi pemicu bukan penghalang. Padahal Indonesia memiliki garis pantai yang lebih panjang dari Norwegia dan Belanda, dua negara yang telah lebih dahulu mengembangkan sistem RED di muara sungai mereka.
Laut tidak lagi cukup dipandang sebagai batas wilayah atau sumber pangan. Laut adalah sumber energi masa depan. Penelitian yang terus berkembang, didukung kebijakan pemerintah dan partisipasi generasi muda, dapat menjadikan energi garam sebagai solusi nyata bagi ketahanan energi nasional. Garam yang dulu hanya diasosiasikan dengan rasa kini menjelma menjadi sumber daya strategis. Arus yang dulu hanya menggerakkan perahu nelayan kini mampu menyalakan lampu di rumah-rumah pesisir. Indonesia memiliki semua unsur yang dibutuhkan untuk menjadikan laut bukan hanya kebanggaan, tetapi juga cahaya bagi masa depan yang bersih, mandiri, dan berkelanjutan.
Penulis: Lovita Merliyana, Mahasiswi Universitas Brawijaya












