Berita

Mengatasi Fenomena Brain Drain di Indonesia : Analisis Berdasarkan Teori Push and Pull Everett S. Lee

Avatar photo
302
×

Mengatasi Fenomena Brain Drain di Indonesia : Analisis Berdasarkan Teori Push and Pull Everett S. Lee

Sebarkan artikel ini
kabur aja dulu 5

NEWSFEED.ID — Fenomena brain drain atau berpindahnya tenaga intelektual dari Indonesia ke luar negeri menjadi tantangan besar dalam pembangunan nasional. Hal ini terjadi karena kita kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang sebenarnya bisa mempercepat kemajuan ekonomi, perkembangan teknologi, dan meningkatkan daya saing bangsa di dunia. Brain drain, atau yang sering disebut dengan human capital flight, adalah perginya para intelektual, ilmuwan, dan profesional dari negara asal untuk tinggal dan berkarier di negara lain. Banyak faktor yang menyebabkan brain drain ini terjadi, baik faktor dari dalam negeri maupun faktor daya tarik dari negara lain. Di Indonesia, peristiwa brain drain ini sudah pernah terjadi, misalnya saat masa transisi politik tahun 1965 atau saat program pengiriman pelajar ke luar negeri oleh Menristek BJ Habibie di tahun 1980-an. Sayangnya, banyak dari mereka yang lebih memilih menetap dan berkarier di luar negeri, sehingga negara kita kehilangan sumber daya manusia unggul.

Jika kita lihat dari sudut pandang Teori Migrasi Push and Pull yang dikembangkan oleh Everett S. Lee, brain drain dipengaruhi oleh 2 faktor utama yakni faktor pendorong (push factors) dari dalam negeri dan faktor penarik (pull factors) dari negara tujuan. Di Indonesia, faktor pendorong ini bisa berupa rendahnya gaji, sedikitnya peluang kerja yang cocok dengan keahlian, birokrasi yang rumit, kondisi politik yang tidak stabil, ketidakpastian ekonomi, dan minimnya dukungan terhadap riset dan inovasi. Karena kondisi ini, banyak tenaga ahli memilih mencari kesempatan yang lebih baik di luar negeri. Sedangkan faktor penarik seperti meliputi tawaran gaji lebih tinggi, fasilitas riset yang lebih lengkap, kondisi politik yang stabil, budaya kerja yang menghargai prestasi, serta akses yang lebih mudah ke pendidikan dan layanan kesehatan di negara maju.

Jika masalah brain drain ini dibiarkan tanpa penanganan serius, maka Indonesia akan menghadapi banyak masalah, seperti berkurangnya tenaga ahli di bidang-bidang penting seperti teknologi, kesehatan, dan pendidikan. Inovasi dalam negeri bisa melambat, daya saing kita di dunia internasional bisa menurun, dan kesenjangan antara daerah maju dan daerah tertinggal akan makin melebar, karena daerah-daerah yang tertinggal kekurangan tenaga profesional. Oleh karena itu, kita perlu strategi yang menyeluruh dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperlambat laju brain drain, sekaligus memanfaatkan tenaga diaspora Indonesia di luar negeri untuk bisa berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Solusi untuk mengatasi brain drain, jika mengacu pada teori push and pull, harus dilakukan dari dua sisi yakni mengurangi faktor pendorong (Push Factors) dan mengurangi faktor penarik (Pull Factors). Untuk mengurangi faktor pendorong (Push Factors), pemerintah harus memperbaiki kualitas peluang kerja di dalam negeri. Caranya dengan membuka lebih banyak lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian para profesional, memberi gaji yang layak, menawarkan jalur karier yang jelas, mendukung inovasi, dan memperbaiki sistem birokrasi agar lebih transparan dan adil. Setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk berkembang berdasarkan kemampuan, bukan karena koneksi.

Selain itu, menjaga stabilitas politik dan ekonomi sangat penting supaya Indonesia tetap menjadi tempat yang menarik untuk berinvestasi dan berinovasi. Pendidikan dan riset di dalam negeri juga harus diperkuat, sehingga para ilmuwan dan cendekiawan merasa punya tempat untuk berkembang tanpa harus pergi ke luar negeri. Program-program seperti reverse brain drain juga perlu diperluas, yaitu dengan menarik kembali sumber daya manusia profesional yang sudah berkarier di luar negeri untuk kembali dan mengabdi di Indonesia.

Di sisi lain, untuk mengurangi faktor penarik (Pull Factors), Indonesia dapat membangun jaringan diaspora yang kuat. Caranya bukan hanya mengajak mereka pulang, tapi juga melibatkan mereka dalam riset, pengembangan teknologi, transfer ilmu, hingga investasi. Pemerintah perlu membangun sistem data diaspora yang terintegrasi, sehingga kita tahu di mana saja mereka berada dan apa kontribusi yang bisa mereka berikan.

Dalam menghadapi masalah brain drain ini, kerja sama lintas sektor menjadi sangat penting. Pemerintah, swasta, dunia pendidikan, dan masyarakat harus bersama-sama membangun ketenagakerjaan yang inklusif dan inovatif. Pemerintah harus menjadi penggerak utama untuk menyusun kebijakan yang bukan hanya responsif terhadap perubahan global, tapi juga berorientasi jangka panjang. Perusahaan swasta perlu memperbanyak program CSR (corporate social responsibility) yang fokus pada pelatihan tenaga kerja daerah. Perguruan tinggi harus menjadi pusat inovasi yang bisa menghasilkan lulusan yang bukan hanya berdaya saing global, tetapi juga memiliki semangat membangun Indonesia.

Pada akhirnya, mengatasi brain drain bukan hanya soal mencegah sumber daya manusia professional pergi ke luar negeri saja, tetapi  juga membuat Indonesia menjadi tempat yang menjanjikan, tempat di mana semua orang merasa dihargai, didukung, dan diberi ruang untuk berkembang serta berkontribusi. Dengan memperkokoh daya saing di dalam negeri dan melibatkan diaspora secara efektif, kita dapat menjadikan brain drain sebagai kesempatan untuk mempercepat kemajuan Indonesia di era global yang semakin ketat.

Penulis: Durrotul Hikmah Maulidia (Mahasiswa Pascasarjana FIA Publik Universitas Brawijaya)

Editor: Fuad Parhan, Tim NewsFeed.id