Berita

Danantara dan Tantangan Good Governance: Menuju Tata Kelola Investasi Negara yang Transparan dan Akuntabel

Avatar photo
337
×

Danantara dan Tantangan Good Governance: Menuju Tata Kelola Investasi Negara yang Transparan dan Akuntabel

Sebarkan artikel ini
01jmc7c2mj34s7gvvyc79scb5q

Peluncuran Daya Anagata Nusantara (Danantara) oleh Presiden Prabowo Subianto menandai babak baru dalam pengelolaan aset negara melalui mekanisme Badan Pengelola Investasi (BPI). Dengan aset awal yang mencapai IDR 14,72 kuadriliun dan inspirasi dari Temasek Holdings (Singapura) serta GIC (Government of Singapore Investment Corporation), Danantara diharapkan menjadi pengelola aset yang efisien dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Namun, meskipun konsep ini menjanjikan, pertanyaan besar muncul: Apakah Danantara mampu menerapkan prinsip-prinsip Good Governance?

Good Governance: Pilar Utama Keberhasilan Danantara

Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik adalah fondasi dalam membangun lembaga yang profesional, transparan, dan akuntabel. Menurut UNDP, ada delapan prinsip utama Good Governance, yakni partisipasi, supremasi hukum, transparansi, responsivitas, orientasi konsensus, keadilan dan inklusivitas, efektivitas dan efisiensi, serta akuntabilitas.

Sebagai lembaga investasi negara, Danantara harus dikelola dengan prinsip Good Governance agar tetap independen dan profesional. Namun, ada beberapa tantangan utama yang harus diatasi untuk memastikan kredibilitas dan efektivitasnya.

  1. Transparansi dan Akuntabilitas

Danantara tidak berada di bawah pengawasan langsung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana diatur dalam PP No. 10 Tahun 2025. Auditnya dilakukan oleh pihak swasta, yang memicu kekhawatiran akan minimnya transparansi dan potensi penyalahgunaan aset negara.

Selain itu, meskipun pemerintah menegaskan bahwa Danantara akan dikelola secara profesional, masuknya tokoh politik seperti Rosan Roeslani (Menteri Investasi dan Hilirisasi) dan Erick Thohir (Menteri BUMN) dalam struktur kepemimpinan menimbulkan pertanyaan tentang independensi lembaga ini dari kepentingan politik.

  1. Efektivitas dan Efisiensi Pengelolaan Aset

Dengan mengelola tujuh BUMN strategis—Bank Mandiri, BRI, BNI, Pertamina, PLN, Telkom, dan MIND ID—Danantara memegang kendali atas aset senilai IDR 9 kuadriliun. Namun, bagaimana aset ini dikelola akan sangat menentukan keberhasilannya.

Pertanyaannya, apakah Danantara akan beroperasi seperti Temasek yang fokus pada keuntungan murni, atau seperti GIC yang masih memiliki peran fiskal dalam kebijakan negara? Jika terlalu banyak intervensi politik, sulit bagi Danantara untuk beroperasi secara optimal dan efisien.

  1. Independensi dan Stabilitas Pasar

Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun melalui Danantara. Namun, pertumbuhan ini tidak hanya bergantung pada pengelolaan aset, tetapi juga pada stabilitas kebijakan dan kepercayaan pasar.

Ketidakpastian dalam kebijakan dividen BUMN di bawah Danantara telah berdampak pada pelemahan pasar saham, termasuk penurunan valuasi saham perbankan BUMN dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jika Danantara tidak benar-benar independen, ada risiko bahwa kebijakan investasinya lebih diarahkan untuk kepentingan politik jangka pendek daripada strategi ekonomi jangka panjang.

Keberhasilan Danantara sebagai lembaga investasi negara tidak hanya bergantung pada besarnya aset yang dikelola, tetapi juga pada tata kelola yang transparan, profesional, dan bebas dari kepentingan politik. Tanpa prinsip Good Governance yang kuat, potensi besar Danantara bisa berubah menjadi beban bagi negara.

Pertama, transparansi dan pengawasan publik harus diperkuat. Meskipun audit dilakukan oleh pihak swasta, laporan keuangan Danantara harus dapat diakses secara terbuka oleh publik untuk memastikan akuntabilitasnya. Selain itu, diperlukan lembaga independen yang berfungsi sebagai pengawas eksternal agar pengelolaan investasi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Kedua, independensi Danantara dari kepentingan politik harus dijaga. Pejabat yang ditunjuk untuk mengelola lembaga ini harus dipilih berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan dengan kekuasaan. Presiden dan Menteri BUMN harus memastikan bahwa Danantara berjalan sesuai tujuan awalnya meningkatkan nilai aset negara tanpa menjadi alat kepentingan politik jangka pendek.

Ketiga, strategi investasi yang jelas dan berkelanjutan perlu ditetapkan. Danantara harus berfokus pada sektor-sektor strategis seperti energi hijau, teknologi, dan manufaktur canggih yang memiliki dampak jangka panjang bagi perekonomian. Orientasi investasi tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan angka PDB, tetapi juga harus menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan konsisten, Danantara berpotensi menjadi motor penggerak ekonomi nasional yang transparan, profesional, dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang bangsa. Tanpa itu, lembaga ini justru bisa menjadi bumerang yang merugikan negara dan masyarakat.

Kesimpulan

Danantara adalah langkah strategis yang bisa membawa Indonesia menuju pengelolaan investasi negara yang lebih profesional. Namun, tanpa penerapan prinsip Good Governance yang kuat, Danantara bisa berubah menjadi lembaga yang rentan terhadap korupsi dan intervensi politik.

Tantangan terbesar Danantara bukan hanya mengelola aset negara, tetapi mengelola kepercayaan publik. Jika kepercayaan ini terjaga, Danantara bisa menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia yang transparan, akuntabel, dan profesional di kancah global.

Penulis: Roki Saputra, Taruna Politeknik Pengayoman Indonesia

Editor: Fuad Parhan, Tim NewsFeed.id